Bismillah.
Tiada habisnya, kita akan selalu berusaha untuk memuji Allah dan bersyukur kepada-Nya. Sebagai bentuk kesadaran kita akan limpahan nikmat dan rahmat-Nya yang meliputi segala penjuru alam semesta. Bukan karena kita menyangka bahwa amal dan sanjungan kita bisa mengimbangi samudera anugerah yang kita arungi; tetapi semata-mata karena kita yakin bahwa dengan mensyukuri nikmat Allah itulah kenikmatan akan terus Allah tambahkan.
Tidak sedikit manusia yang melupakan besarnya karunia dari Allah kepada mereka. Nikmat pendengaran, penglihatan, dan hati. Nikmat-nikmat yang mengantarkan manusia untuk merasakan betapa indahnya ciptaan Allah dan keagungan syari’at-Nya. Nikmat yang seharusnya menyadarkan manusia bahwa tidak pantas mereka mengangkat sesembahan tandingan untuk-Nya. Sebagaimana tidak ada yang menciptakan dan memberikan rezeki selain Allah, maka tentu tidak ada yang berhak mendapatkan ibadah dan puncak kecintaan selain Allah pula.
Saudaraku yang dirahmati Allah, meneliti keadaan hati dan kecenderungan jiwa merupakan perkara yang penting untuk terus kita perbaiki. Kita tidak boleh bosan untuk kembali mengoreksi diri, menata niat, dan memperbaiki hati. Karena hati menjadi poros kebaikan hamba. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak memperhatikan kepada fisik kalian atau rupa-rupa kalian. Akan tetapi yang Allah perhatikan adalah hati dan amalan kalian.” (HR. Muslim)
Apa yang kita saksikan di tengah pergolakan hidup manusia berupa kejahatan, kezaliman dan kerusakan pada hakikatnya merupakan buah dari apa-apa yang pada awalnya tertanam dan bergejolak di dalam hati manusia. Tidakkah kita perhatikan bagaimana Allah menceritakan keadaan kaum munafik yang digelari sebagai kaum perusak oleh Allah? Bukankah Allah telah menjelaskan bahwa di dalam hati mereka itu tersimpan penyakit; yaitu keragu-raguan dan riya’.
Begitu pula kondisi orang-orang kafir yang telah dikunci hatinya oleh Allah disebabkan penolakan mereka kepada kebenaran yang dibawa para rasul-Nya. Para ulama kita mengatakan bahwa al-jazaa’ min jinsil ‘amal. Artinya balasan bagi pelaku amalan diberikan dengan sesuatu yang sejenis dengan amal yang dia lakukan. Apabila orang ingat kepada Allah; maka balasannya Allah pun ingat kepada-Nya. Begitu pula barangsiapa yang menolong agama Allah, niscaya Allah akan menolong dirinya. Sebaliknya, barangsiapa yang berpaling dari petunjuk dan kebenaran yang datang dari Allah maka Allah pun membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan yang dia pilih. Allah mahaadil, sama sekali Allah tidak pernah menganiaya hamba-hamba-Nya.
Adalah kenyataan yang tidak bisa kita pungkiri, bahwa kebanyakan orang terkadang lebih mendahulukan apa yang disenangi oleh perasaan dan hawa nafsunya di atas petunjuk Allah dan ajaran Rasul-Nya. Tidaklah kaum musyrikin mati-matian membela kekafiran kecuali karena mereka menganggap bahwa dengan kekafirannya mereka merasa bisa meraih kebahagiaan. Tidaklah para pelaku dosa-dosa besar menjauhi ajaran agama kecuali karena mereka menyangka bahwa menerjang larangan adalah pintu gerbang kebahagiaan baginya. Mereka tidak mau terkekang oleh perintah dan larangan agama. Mereka ingin bebas dari ikatan dan tekanan. Namun, di saat yang sama mereka lupa bahwa sesungguhnya hawa nafsu memperbudak mereka untuk sebuah fatamorgana.
Dunia ini dengan segala kemegahan dan kesenangannya adalah ujian bagi manusia. Siapakah diantara mereka yang bercita-cita tinggi untuk menggapai surga dan siapakah orang rendahan yang hanya ingin mereguk kenikmatan semu yang bermuara pada azab neraka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Neraka diliputi dengan hal-hal yang disukai hawa nafsu, sedangkan surga diliputi hal-hal yang tidak disukai.” (HR. Bukhari dan Muslim). Sungguh tertipu orang yang menyangka kesenangan duniawi akan membawa kebahagiaan abadi. Karena kebahagiaan di akhirat itu hanya Allah berikan kepada mereka yang bertakwa kepada Allah dengan hati dan amalnya.
Apakah kekayaan bisa membuat seorang Qarun mencapai puncak kebahagiaannya? Apakah kekuasaan bisa membuat seorang Fir’aun meraih kebahagiaan di surga? Apakah banyaknya pengikut kemudian bisa mengangkat derajat Iblis menjadi penghuni surga Firdaus? Apa yang hendak dibanggakan manusia dengan kesenangan dunia yang fana ini; jika semua itu toh pada akhirnya akan sirna dan pergi meninggalkan mereka. Apakah rumah anda yang megah dan mewah lantas bisa menjamin anda bisa mendapatkan kapling di surga? Apakah istri anda yang cantik menawan lantas bisa menjamin anda pasti bisa mendapatkan pesona bidadari Surga?
Tidakkah anda melihat mereka yang terbaring di rumah sakit dengan hatinya bergantung kepada Allah semata, berdoa kepada Allah semata, dan tidak mau mengangkat sesembahan tandingan selain-Nya? Tidakkah anda melihat orang-orang miskin yang tidak tahu besok akan makan apa dengan ketergantungan hati sepenuhnya kepada Allah Rabb alam semesta? Kebahagiaan mampu mereka rasakan dengan iman dan tauhid walaupun manusia yang lain memandang mereka hidup dalam kesusahan dan kesempitan. Banyak orang yang merdeka, walaupun jasadnya terpenjara. Dan tidak sedikit orang yang terpenjara walaupun secara fisik bebas berkeliaran kemana-mana. Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Orang yang menjadi tawanan adalah siapa yang ditawan oleh hawa nafsunya.” Sesungguhnya bukan jeruji besi yang menawan jiwa-jiwa manusia; tetapi berbagai keinginan untuk mengejar kesenangan semu dan fatamorgana!
Inilah yang telah disinggung oleh Malik bin Dinar rahimahullah, “Telah keluar para penghuni dunia dari dunia ini dalam keadaan tidak merasakan sesuatu yang paling baik di dalamnya.” Orang-orang bertanya, “Wahai Abu Yahya, apakah itu yang paling baik di dunia?” beliau menjawab, “Mengenal Allah ‘azza wa jalla, mencintai-Nya dan tenang dengan mengingat-Nya.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pasti merasakan lezatnya iman; orang yang ridha Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai rasul.” (HR. Muslim). Keimanan seorang hamba tidak akan benar kecuali dengan menggantungkan hatinya kepada Allah semata dan tidak mengangkat sesembahan tandingan untuk-Nya. Dia jadikan seluruh ibadahnya untuk Allah, bukan untuk selain-Nya. Tidak ada sedikit pun ibadah yang dia berikan kepada jin, setan, batu, pohon, atau para penghuni kuburan. Inilah jalan yang mengantarkan kaum bertauhid untuk mencapai puncak kenikmatan. Kenikmatan yang membuat mereka tidak lagi tertipu oleh gemerlapnya dunia. Kenikmatan yang membuat mereka tidak lagi tertipu oleh sedikitnya harta. Karena kekayaan yang sejati bukanlah kekayaan berupa perhiasan dunia. Kekayaan hakiki adalah kekayaan hati.
Keimanan anda akan diuji dengan segala bentuk nikmat dan musibah. Apakah anda bisa menjadi orang yang bersyukur dengan nikmat yang ada. Apakah anda bisa menjadi penyabar ketika musibah bertubi-tubi melanda. Para ulama terdahulu mengatakan, “Kami diuji dengan musibah dan kekurangan maka kami masih bisa bersabar. Akan tetapi ketika kami diuji dengan kekayaan dan dunia maka banyak diantara kami yang tidak bisa bersabar.”
Sabar menerima nikmat dunia maksudnya adalah dengan menggunakan nikmat itu di atas ketaatan dan agar tetap jauh dari larangan. Yaitu sabar melaksanakan perintah Allah dan sabar menjauhi perkara-perkara yang diharamkan. Sabar untuk tetap mengharapkan pahala dan keridhaan Allah dengan amalnya, bukan beralih menuju cita-cita rendah berupa dunia dan segala perhiasannya. Sabar untuk terus berjalan di atas jalan rasul-Nya, dan tidak meninggalkan jalan itu menuju jalan-jalan yang lainnya. Ingatlah bait-bait syair yang begitu indah :
Katakanlah, kepada orang yang mengharap
perkara-perkara tinggi
Tanpa kesungguhan
kamu mengharapkan kemustahilan belaka…
Kedermawanan
beresiko pada kefakiran
Dan keberanian
beresiko kematian
Seorang bapak tua sering mengatakan kepada seorang pemuda, bahwa harapan masa depannya jauh lebih panjang daripada apa yang bisa diharapkan oleh dirinya. Tentu sang pemuda tidak mengelak bahwa umurnya lebih muda dan bapak itu lebih tua. Akan tetapi siapa yang mengetahui apakah malaikat maut menjemput yang lebih tua terlebih dulu; ataukah yang muda?
Mengapa anda wahai anak muda terbuai dengan angan-angan dan fatamorgana seolah kematian itu masih jauh dari anda? Seorang ulama sahabat yang begitu cerdas dan mulia Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu saja meninggal pada usia belum mencapai 40 tahun. Seorang ulama pejuang aqidah bernama Sulaiman bin Abdullah rahimahullah -sang penulis kitab Taisir al-’Aziz al-Hamid– pun meninggal dalam usia yang masih muda. Mereka adalah para ulama dan manusia-manusia pilihan, pun tidak lepas dari kematian, bahkan di usia yang relatif muda…
Mengingat kematian bukanlah menebarkan keputusasaan. Mengingat kematian adalah jalan anda untuk kembali bertaubat dan memperbaiki amalan. Tsabit an-Bunani rahimahullah berkata, “Betapa beruntung orang yang banyak mengingat saat-saat kematian menjelang. Tidaklah seorang banyak mengingat kematian kecuali akan tampak pengaruhnya bagi amalnya.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya anak Adam memiliki dua lembah harta niscaya dia akan terus mencari lembah harta yang ketiga, dan tidak akan memenuhi rongga perut anak Adam/sifat rakusnya itu selain tanah/kematian…” (HR. Bukhari dan Muslim)
Pintu taubat masih terbuka bagi anda yang ingin menempuh jalan kembali kepada Allah. Hari ini Allah masih berikan kesempatan untuk anda menyesali dosa dan bertekad kuat untuk tidak mengulanginya. Hari ini Allah masih berikan kesempatan bagi anda untuk memperbaiki amalan dan menebus segala kesalahan di masa silam. Inilah nikmat agung yang seharusnya kita sadari. Maukah kita menempuh jalan kebahagiaan ini? Ataukah kita ingin terlelap dalam mimpi-mimpi dan hanyut dalam angan-angan kosong. Hasan al-Bashri rahimahullah mengingatkan, “Wahai anak Adam, sesungguhnya kamu ini adalah kumpulan perjalanan hari demi hari. Setiap kali satu hari berlalu maka itu berarti telah lenyap sebagian dari dirimu.” Mantapkan langkahmu…
Hari esok menanti, jika Allah menghendaki
sebab kita tiada mengerti
apakah esok hari masih bertemu mentari
Sucikan hati, bersihkan amalan
Isi hari demi hari dengan ketaatan
Jauhi dosa dan pelanggaran
Semoga tulisan singkat ini bermanfaat. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Yogyakarta, Dzulqa’dah 1440 H